Rabu, 07 Juli 2010

Tanda Tangan Anda Cermin Kepribadian Anda

Tanda Tangan Anda Cermin Kepribadian Anda


 Di mata "peramal", tanda tangan seseorang punya makna macam-macam, bisa mencerminkan kepribadian dan pengharapan, ada pula yang mengartikannya sebagai lambang ego, atau pertanda jalan hidup seseorang.

Namun menurut seorang psikolog dan pakar grafolog dari Bandung, tanda tangan lebih merupakan identitas atau segel diri, yang punya nilai hukum.

"Orang ini tidak mudah putus asa. Meski sering goyah, kalau pun jatuh ia sanggup bangkit lagi. Yang ini orangnya sederhana, seadanya, dan mandiri. Nah, kalau ini lain lagi, orangnya punya rencana awal yang bagus, tetapi karena suatu hal lantas menciut niatnya."

"Waduh, ini jelek banget. Orangnya disuruh kerja apa saja mau. Tapi ia suka berkorban demi orang lain, meski diri sendiri hancur. Tidak tegaan, lurus, dan tidak mengharapkan orang lain. Mestinya garis ini naik, jangan turun!"

Itu sekilas ramalan Ny. Nur - sebut saja begitu - yang mengaku suka iseng-iseng membaca makna tanda tangan, ketika disodori sejumlah tanda tangan untuk dianalisis.

Ny. Nur melanjutkan ceritanya. Tanda tangan terputus-putus itu perjalanan hidupnya tersendat-sendat. Tidak punya rencana awal yang matang. Kalau ruwet dan melingkar-lingkar, orangnya suka mengeluh, sering memikirkan susahnya ketimbang senangnya.

Bentuk tanda tangan kecil menyimpan banyak rahasia. Bila berperkara dengannya sulit terselesaikan. Pernik-pernik pada tanda tangan pertanda hidup si empunya dimata-matai orang. Juga bisa diibaratkan sebagai gangguan dari luar. Bisa juga orang itu suka memanipulasi diri, mengada-ada atau bohong.

Garis bawah pun punya arti. "Kalau garisnya menempel di bawah tanda tangan, hidupnya tergantung pada orang lain. Garis bawah sebaiknya tidak menyentuh tanda tangan. Goresan pada akhir tanda tangan harus lepas. Kalau ujungnya ke bawah, di hari tua sakit-sakitan, dan makin sengsara. Apalagi kalau ujungnya membentuk kait, hidupnya akan terus dililit utang," tuturnya.

Lambang Kepribadian dan Cita-cita

Di mata ahli grafologi, seperti ditulis Anna Koren Graphology Center Ltd., tanda tangan lebih menggambarkan kepribadian daripada watak seseorang. Namun ia tidak bermakna bila tanpa disertai teks tulisan tangan dalam analisisnya.

Tanda tangan, lanjutnya, juga bisa melambangkan keadaan Anda sesungguhnya - your inner self, ego Anda. Sebuah tanda tangan bisa terdiri atas satu atau maksimal tiga elemen; nama kecil, nama keluarga, dan unsur tambahan.

Nama keluarga, menurut Anna Koren, mencerminkan citra Anda di masyarakat. Sedangkan nama kecil berkaitan dengan ego seseorang. Jika lebih menonjolkan nama kecil dalam tanda tangan itu menunjukkan suatu ekspresi untuk menarik perhatian, atau keinginan untuk membuktikan diri. Bisa jadi pemilik tanda tangan itu tidak menyandarkan diri pada keluarganya. Ingin dinilai mandiri!

Nama kecil ditulis lebih besar ketimbang nama keluarga atau teks tulisan tangan menunjukkan egosentrisme (sifat atau kelakuan yang menjadikan diri sebagai pusat segala hal) dan narsisisme (cinta diri secara berlebihan). Sebaliknya yang menekankan nama keluarga berarti membanggakan atau tergantung pada keluarga.

Bila tanda tangan identik dengan karakteristik teks tulisan tangan, lanjut Anna Koren, bisa disimpulkan penulisnya sudah merasa puas dengan dirinya sendiri. Tidak ingin menonjolkan diri, tulus hati, dan teguh.

Akan bermakna lain lagi bila sebuah tanda tangan disertai dengan unsur tambahan berupa tanda titik, yang biasanya muncul pada akhir tanda tangan. Selain memberi kesan rasa waswas penulis kalau-kalau tanda tangannya dipalsukan oleh orang lain, tanda titik bisa juga melambangkan pendirian yang stabil, rasa curiga, dan mencoba menjaga jarak.

Yang juga penting dianalisis, katanya, adalah perbedaan tanda tangan dengan teks tulisan, serta letak (penempatan) tanda tangan. Tulisan tangan mencerminkan perasaan terdalam penulis, sedangkan tanda tangan bisa menggambarkan keinginan (cita-cita) penulis.

Dari tanda tangan, bisa "diramal" ambisi penulis pada masa lalu, dan juga pengharapan di masa mendatang. Meskipun ada aturan-main dalam menganalisis sebuah tanda tangan, namun tetap saja masih mengandalkan intuisi.

Margaret Gullan-Whur, dalam bukunya What Your Handwriting Reveals yang dialihbahasakan oleh Dra. Arum Gayatri, disebutkan ada beberapa aspek yang mesti dilihat dalam menganalisis tanda tangan, yakni maksud tanda tangan, penempatan, ukuran, keseimbangan, koreksi, jelas-tidaknya dibaca, dan dekorasi (unsur tambahan).

Tanda tangan, menurutnya, umumnya sengaja dirancang oleh masing-masing orang untuk menunjukkan ciri-ciri kepribadiannya. Orang yang memiliki dua bentuk tanda tangan dengan model yang mirip bisa jadi ia bermuka dua.

Penempatan tanda tangan tepat di atas garis yang tersedia menunjukkan ia respek terhadap diri sendiri maupun otoritas. Bila agak di atas garis menandakan kegembiraan berkaitan dengan dokumen yang ditanda tangani itu. Di bawah garis berarti depresi. Tanda tangan beralur naik mencerminkan rasa percaya diri yang besar. Alur menurun, suasana suram.

Tanda tangan berdesakan ke sebelah kiri dari tempat yang tersedia menunjukkan rasa takut (pada orang lain atau kegagalan). Sebaliknya kalau cenderung ke arah kanan, berarti kurang perhatian dan ceroboh.

Tanda tangan lebih kecil daripada teks tulisan mengungkapkan keinginan untuk menyendiri. Sebaliknya tanda tangan besar pertanda ingin menonjolkan diri, atau ekstrovert. Bila hurufnya besar dan rapat, pertanda kesombongan. Sementara pendapat lain menyebutkan tanda tangan kecil, mampat dan pendek pertanda rasa rendah diri. Tanda tangan besar dan bergaris bawah menunjukkan kurang selera atau ego berlebihan.

Ketidakseimbangan tanda tangan atau distorsi bisa berkaitan dengan emosional. Posisi nama keluarga lebih rendah daripada nama depan atau inisial, ada sangkut-pautnya dengan kemurungan.

Koreksi pada tanda tangan menunjukkan ketidakpuasan pribadi. Tanda tangan yang dikoreksi, mengarah ke kiri dan alurnya menurun menandakan kebencian diri sendiri. Bentuk yang banyak koreksian bisa berkaitan dengan sifat antisosial. Tanda tangan tak terbaca pertanda kurangnya perhatian terhadap komunikasi. Sebaliknya, kalau jelas dan mudah dipahami pertanda kejujuran dan sifat dapat dipercaya.

Tanda tangan dengan garis bawah wajar di bawah nama keluarga menandakan rasa percaya diri terhadap latar belakang keluarga. Ada pula yang mengganggap garis bawah menunjukkan egoisme dan kekuatan jiwa.

Dekorasi berlebihan berbentuk garis lurus atau melengkung dengan bintang, mungkin orang itu merasa tak diperhatikan, atau tidak memiliki keistimewaan. Kalau goresannya agresif dan seolah ingin membatalkan tanda tangan, itu pertanda frustasi dan tidak sabaran. Bahkan ada yang menghubungkannya dengan kecenderungan penyimpangan seksual atau keragu-raguan.

Dekorasi yang mengelilingi sebagian besar nama mencerminkan sifat menutup diri atau pembelaan diri. Tanda tangan berbentuk coret-coretan, orangnya tertutup. Lingkaran mengelilingi tanda tangan mengindikasikan depresi dan teriakan minta bantuan.

Bukan Termasuk Ggrafologi

Prof. Dr. John Nimpoeno (71), psikolog dan pakar grafologi di Kampus Pasca Sarjana Universitas Parahyangan, Bandung, tidak sependapat dengan analisis tanda tangan di atas. "Memang dalam tanda tangan ada unsur yang menunjuk sifat atau karakter seseorang, tapi tidak selengkap grafologi. Grafologi "kan kumpulan sifat yang terjadi pada diri seseorang sehingga bisa diprediksi. Misalnya, ia bakal sampai level manajer, atau justru jatuh. Tapi tanda tangan, nggak bisa. Karena unsurnya nggak lengkap. Dalam grafologi ada puluhan indikator. Sedangkan dalam tanda tangan hanya beberapa persen yang muncul."

Berdasarkan grafologi, gerakan menulis jelas ada hubungannya dengan kondisi psikofisik seseorang. "Pikiran, emosi sesaat bisa muncul dalam tulisan tangan. Tulisan tangan mencerminkan keadaan kepribadian seseorang," jelas guru besar yang pernah bekerja di Institut Parapsikologi di Jerman.

Tanda tangan, lanjutnya, berbeda dengan grafologi. Ia muncul berkat gerakan yang sudah dibuat otomatis. Jadi, tanda tangan tak sepenuhnya mencerminkan kepribadian seseorang seperti pada tulisan tangan.

Perihal tanda tangan bisa "diramal"? "Itu cuma cerita rakyat. Nggak ada ilmunya. Tanda tangan merupakan hasil gerakan otomatis, seperti cap atau stempel. Otomatisme namanya. Seratus psikolog pun tak akan bisa (menginterpretasikan). Secara psikologi, membaca tanda tangan yang berdiri sendiri, ya susah," ujarnya.

Dalam tulisan tangan, menurut John Nimpoeno, karakter dan dinamika kepribadian bisa muncul. Sedangkan pada tanda tangan susah dilihat. Ada unsur-unsur (secara grafologi) tak muncul pada tanda tangan. Sehingga tidak bisa diprediksi.

Tentang analisis tanda tangan oleh Anna Koren, John Nimpoeno berkomentar, "Bukan berarti salah sama sekali. Bisa jadi ia memang grafolog, yang sebelumnya sudah melihat teks tulisannya serta memprediksi dalam pikirannya kemudian memunculkan hasil analisis itu ketika melihat tanda tangannya."

Tanda tangan Elvis Presley dianalisis bentuknya mirip gambar gitar. "Wah ... itu sih grafologi abad XIX. Semacam primbon. Tanda tangan bentuknya mirip pistol, lantas diprediksi agresif. Kuno itu. Tanda tangan Walt Disney seperti mainan anak-anak, wah ... itu kebangetan!" ujarnya.

"Kecuali kalau ia melakukan riset secara ilmiah dan menemukan teori atau konsep baru. Misal, teori perbandingan tulisan dengan tanda tangan. Kalau memang ada perkembangan konsep grafologi baru, ya silakan."

Jadi, tegasnya, nggak ada kaitan antara bentuk tanda tangan dengan watak, apalagi dengan hoki seseorang. "Ilmu" menganalisis tanda tangan lebih diterapkan pada bidang hukum. Misalnya, di laboratorium kriminal, sebagai teknik tersendiri untuk melihat palsu tidaknya suatu tanda tangan.

Lebih Bernilai Hukum

Tanda tangan merupakan identitas atau "segel" diri. Secara hukum tanda tangan yang dibubuhkan pada surat penting bisa mewakili diri orang yang bersangkutan.

Betapa penting artinya, sampai-sampai hakim pun bisa menjebloskan seseorang ke dalam penjara, selembar kertas cek bisa ditukar dengan uang kontan, dsb. Karena punya arti penting itu (secara hukum bisa mewakili diri seseorang), sehingga muncul tindakan pemalsuan tanda tangan cek atau surat penting lainnya.

Kalau sebuah tanda tangan diragukan keasliannya, menurut John Nimpoeno, bisa muncul tiga kemungkinan. Pertama, tanda tangan itu memang asli (goresan tangan si Ali, misalnya). Kedua, tanda tangan itu palsu tapi mirip yang asli (karena kebetulan penulisnya juga bernama Ali). Ketiga, tanda tangan itu palsu (sengaja dipalsukan atau ditiru dari aslinya).

Repotnya, seseorang bisa saja memalsukan tanda tangannya sendiri. Misalnya, ketika menandatangani suatu surat penting ia membubuhkan tanda tangan yang berbeda dari biasanya. Belakangan ketika ada masalah dengan surat itu, ia mungkir bahwa itu bukan tanda tangannya. Itu namanya tanda tangan "aspal" - asli tetapi palsu.

Menurut John Nimpoeno, ada dua teknik yang biasa diterapkan untuk menentukan palsu-tidaknya sebuah tanda tangan, yaitu teknik mekanis (melibatkan peralatan tertentu) dan psikofisiologis (meminjam kaidah-kaidah yang berlaku dalam grafologi tapi secara terbatas).

Pada teknik analisis psikofisiologis masih dibutuhkan tulisan tangan dari orang yang dianggap sebagai pemilik tanda tangan, dan orang yang dicurigai memalsukan tanda tangan. Tulisan tangan itu dipakai untuk pembanding. Hasil pengamatan cara ini bisa lemah kalau tidak dilakukan oleh psikolog atau grafolog.

Sedangkan pemeriksaan tanda tangan secara mekanis biasanya menggunakan peralatan khusus. Pengamatannya lebih menekankan pada hal-hal berkaitan dengan pemalsuan mekanis.

Memeriksa tanda tangan (misalnya, oleh bank, kehakiman, atau pengadilan) akan menjadi pekerjaan berat bagi si analis. "Karena sulit untuk menyimpulkan secara mutlak bahwa tanda tangan itu asli atau palsu. Apalagi persoalannya menyangkut untung-rugi seseorang.

Oleh karena itu, untuk menilai asli atau palsu harus berdasarkan kemungkinan (probabilitas). Misal, tanda tangan itu dinilai 70% asli dan 30% palsu. Dalam hal ini unsur spekulasi tetap ada. Jadi, tidak secara mutlak."

"Nilai probabilitas tinggi berarti tanda tangan itu ditulis oleh orang yang sama. Probabilitas sedang, masih diragukan. Kalau nilainya rendah, itu jelas palsu. Penulisnya berbeda."

Menurut Anna Koren, meski tanda tangan Anda secara garis besar ada kesamaan, namun dari puluhan atau bahkan ratusan tanda tangan Anda tidak pernah sama persis, sekalipun itu dibuat pada saat yang relatif sama. Makanya kalau ada dua tanda tangan sungguh identik, bisa jadi satu di antaranya justru palsu.

Bisa Berubah dan Diubah

Tak seorang pun mengajarkan bagaimana merancang atau memilih tanda tangan yang cocok untuk Anda. Anda menciptakan sendiri tanda tangan Anda, setelah berkali-kali mencoba corat-coret di kertas kosong. Keragu-raguan dalam membuat tanda tangan muncul ketika remaja.

Seturut jalannya waktu, tanda tangan akan mengalami banyak perubahan. Selain faktor usia, ia bisa berubah karena perubahan status (pernikahan atau sosial). Bahkan, menurut Anna Koren, tanda tangan bisa berubah kapan saja, selama yang bersangkutan masih hidup.

Sementara menurut Margaret Gullan-Whur, perubahan mendadak pada tanda tangan mungkin saja disengaja, karena ketidakpuasan penampilan tulisan, yang mengungkapkan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Pada remaja hal ini bisa terjadi. Setelah dewasa, sulit untuk mengubah format tanda tangan tanpa mengubah bagian lain.

Perihal tanda tangan diubah, menurut Ny. Nur, boleh-boleh saja, asalkan untuk tujuan baik. Untuk mencari dan membetulkan jalan hidupnya. "Tapi, kalau ganti-ganti tanda tangan untuk tujuan yang tidak benar, karakter orang itu sendiri sudah tidak benar," katanya.

Masih soal perubahan tanda tangan, John Nimpoeno berpendapat lain. Ada tanda tangan ruwet nggak terbaca, ada pula yang jelas terbaca namanya.

"Itu karena trend saja. Tanda tangan sekarang tendensinya (mesti) terbaca," jelasnya. Dulu, tambahnya, tanda tangan cenderung ruwet, njelimet, susah dibaca. Maksudnya supaya susah ditiru atau dipalsukan. Tapi lambat laun mengikuti pola Amerika, di mana tanda tangan umumnya bisa jelas terbaca namanya. Demikian juga pola Jerman. Jadi, wajar kalau ada perubahan dalam gaya tanda tangan.

Kalau ada yang ingin mengubah tanda tangan? "Itu haknya. Tapi perubahan tanda tangan nggak akan mengubah orang itu."

Source : intisari

Dua Kagum Yang Tak Tersampaikan

Pemuda itu hanya termangu diam disamping pohon kurma ditepi padang pasir di kota madinah sana. Betapa ia tergoncangkan hatinya ketika dia tahu bahwa wanita itu akan dipersunting oleh sahabat seniornya sendiri yang bernama Abu Bakar. Seorang sahabat yang tidak diragukan lagi kesetiaannya pada rasul. Dialah sahabat senior yang menemani rasul saat berhijrah dan pria soleh itu pula yang menyumbangkan seluruh hartanya untuk Islam ini tanpa sisa sedikitpun. Seharusnya pemuda itu bahagia saat itu. Karena wanita yang dikaguminya bisa mendapatkan lelaki se-sholeh seperti Abu Bakar.

Ia mencoba untuk tetap tersenyum. Namun tetap saja, dia tidak tahu mengapa hatinya tetap mencoba menolak dan tidak mau selaras. Sekali lagi, ia coba yakinkan pada dirinya kembali, “Inilah sebuah perlombaan kebaikan, siapa yang duluan, maka ia harus mempersilakannya”. Sejak dari dulu seharusnya ia sadar harus menepis apa yang dirasakannya itu, cukuplah hanya sebatas kagum kepada wanita yang bernama Fatimah Binti Rasulullah itu. Namun semua belum terlambat, perasaan kagum itu akhirnya ia simpan jauh didalam hatinya. Agar orang lain tidak akan pernah tahu apa yang ia rasakan. Sampai-sampai setan pun tidak dapat mengetahui hal itu. Namun ia tidak tahu mengapa perasaan itu semakin kuat dan terus menderu, seakan-akan mendorong dia untuk mengungkapkan kepada wanita sholehah itu jika Allah memberikannya kesempatan yang kedua.

Tapi untunglah Allah masih menjaga hatinya. Ia sadar benar, dengan mengungkapkan isi hatinya artinya dia harus siap untuk meminangnya. Tidak hanya sekedar rayuan kata-kata manis dan indah semata, tetapi sebenarnya disana harus ada keberanian dan ada tanggung jawab. Namun ia tahu bahwa ia hanyalah lelaki yang miskin papa, bukan berasal dari keluarga yang kaya. Bagaimana mungkin ada orang tua yang mau menerima menantu seperti dia. Adakah orang tua yang rela memberikan anaknya kepada seorang pemuda seperti dirinya? Dan yang lebih meyakinkannya lagi, apakah ia pantas mendampingi seorang wanita ahli surga yang juga putri dari orang yang sangat dikasihinya. Ali terlalu rendah hati. Akhirnya ia putuskan untuk menyimpan didalam hatinya saja. Cukup dia dan Allah yang tahu. Apalagi sekarang sudah ada Abu Bakar, sekarangpun ia bisa tenang karena ada lelaki yang lebih siap dan lebih baik darinya yang meminang bidadari dunia itu.

Dialah Ali Bin Abi Thalib. Seorang pemuda yang cerdas dan bahkan Nabi pun memuji karena kecerdasannya itu sendiri. Butiran pasir terus beterbangan dengan indahnya dipadang pasir tempat pemuda itu merenung. Tak berapa lama kemudian, tersiarlah kabar bahwa lamaran Abu Bakar ditolak oleh rasul. Entah seperti ada setetes embun yang menyejukan hatinya. Ternyata harapan itu masih ada. Maka dia mencoba merekatkan kembali puing-puing harapannya kembali untuk membangun nyali keberanian dan semangatnya lagi untuk bertemu sang rasul. Ia pikir setiap manusia memang layak mendapatkan kesempatan kedua.

Tapi ternyata ia terlambat. Ada seorang sahabat senior kembali yang mendahului geraknya untuk meminang wanita solehah itu. Dia bernama Umar Bin Khatab. Ali menelan kepahitan sekali lagi. “Apa yang kurang dari Umar?” Ia adalah lelaki yang sangat kuat imannya bahkan sampai setan yang bertugas menggodanya pun sangat takut dengannya. “Mungkin dialah orang yang dicari rasul”, kata hatinya. Sebagai seorang manusia, ia mencoba merasionalisasikan pikirannya kembali. Ya, sebenarnya itu dia lakukan agar ia bisa tenang didalam hatinya untuk tetap dapat berdzikir ikhlas kepada Allah. Tidak ada alasan untuk menolak lelaki kuat seperti diri Umar Bin Khatab.

Tapi lagi-lagi Allah berkehendak lain. Lamaran Umar pun ditolak oleh rasul. Entah si cerdas itu setengah percaya atau setengah tidak, tapi yang pasti itulah yang terjadi. Siapakah sebenarnya yang rasul cari. Apakah keimanan sang Abu Bakar dan Umar Bin Khatab beserta kekayaannya masih belum cukup bagi rasul?

Didalam kamarnya, wanita itu masih bisa tenang dan berpikir. Fatimah belum mengerti maksud ayahnya. Sudah dua lelaki soleh yang ditolak. Fatimah tidak tahu apakah ayahnya dapat membaca isi hatinya atau tidak. Ya, sebenarnya Fatimah saat ini pun memendam decak-decak kagumnya kepada seorang pemuda soleh diluar sana. Seorang pemuda yang sangat luar biasa keimanannya, yang lidahnya terus dibasahi oleh dzikir-dzikir cinta kepada Allah. Saat ini, seandainya dia mau, mungkin ia dapat dengan mudah mengisahkan perasaannya pada ayahnya yang sangat menyayanginya. Namun karena kesucian dirinya, sepenuh jiwa ia berjihad menahan perasaannya kepada pemuda yang bernama Ali Bin Abi Thalib itu.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

Disekitar padang pasir sana masih sering terlihat Ali yang sedang merenung, namun Ali tampaknya kini sudah lebih kokoh. Walaupun ia sudah tahu bahwa Umar kini mencoba meminang diri Fatimah. Baginya, kecintaan kepada seorang insan tidak akan bisa mengalahkan rasa cinta murninya kepada Allah. Karena Allah mudah sekali membolak-balikan hati seorang hambanya. Maka tak perlulah ia terlalu gusar, karena satu yang ia fahami. Bahwa kematian, rezeki dan pasangan hidup telah diputuskan sebelum ia lahir ke bumi ini oleh pencipta dirinya.

Tampak sekawanan pemuda Anshar itu tergopoh-gopoh menuju ketempat Ali berada. Raut wajah mereka tampak senang sekali seakan-akan ingin menyampaikan kabar gembira kepada Ali. Ali mengira bahwa mereka akan menyampaikan kabar gembira bahwa rasul telah menyambut seruan Umar Bin Khatab untuk mendampingi wanita itu. Kalaupun benar kabar itu, kini ia telah siap menerima kabar itu.

“Rasul menolak pinangan dari Umar, Ali”, teman Ansharnya berkata kepada dirinya. “Ali, mungkin engkaulah yang dinanti sang Rasul”, temannya kembali menegaskan. Ali terdiam sejenak. Mungkin ia bisa senang saat ini, tapi ia masih bertanya-tanya, siapakah sebenarnya yang dicari lelaki agung itu, apakah benar dirinya. ”Ah tak mungkin”, keras hatinya. “Engkau adalah pemuda yang soleh dan selalu menjaga dzikirmu kepada Allah, mungkin rasul sangat menginginkanmu datang kepadanya”, temannya mencoba terus mendorong.

Ada celah-celah langit hatinya yang bersinar kembali, setelah awan ketidakyakinan menutupi relung jiwanya. “Inikah kesempatan keduaku?” Ali mencoba memantapkan keyakinannya kembali. Saat itu pula Ali belum yakin apakah ia akan memenuhi celah langit didalam hatinya. Namun berkat dorongan teman-teman dan kemantapan hatinya akhirnya ia temui lelaki agung itu, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasalam.

Suasana rumah rasul hening untuk sesaat. Mungkin saat itulah yang paling mendebarkan didalam hidup Ali Bin Abi Thalib, seorang pemuda yang kini mencoba meminang diri Fatimah Az Zahra. Fatimah pun dengan segenap ketegangannya berada dibalik tabir kamarnya mendengar secara sayup-sayup percakapan mereka berdua. Tiba-tiba mulut rasul mulai mengeluarkan kata-kata “Ahlan wa Sahlan wahai Ali”. Kata-katanya cukup sampai disana. Tidak kurang dan tidak lebih. Apakah itu pertanda Iya atau Tidak itu masih belum jelas. Makna kalimat yang begitu luas seperti lautan tadi membuat Ali disana dan Fatimah didalam kamarnya tenggelam pada kebingungan.

Lambat-laun akhirnya Ali faham maksud dari sang rasul. Namun kini ia sampai pada pertanyaaan yang sangat menohok tenggorokannya. “Apakah mahar yang kau bisa berikan Ali kepada anakku Fatimah?”. Suasana menjadi hening kembali. ia coba merangkai-rangkai alasan untuk tidak menjawabnya secara langsung.

Meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Akhirnya dia hanya bisa berkata bahwa hanya baju perang tua dialah yang dapat ia jadikan mahar untuk meminang wanita yang dikaguminya itu. Dan dengan ekspresi senangnya, rasul pun mengiyakan apa yang dikatakan oleh Ali.

Dan akhirnya dua tali kekaguman yang tak tersampaikan itupun mampu terlilitkan dengan kuat dan rapi. Siapa yang mengikatnya?bukan orang tuamu, bukan sahabatmu dan memang bukan manusia yang melilitkannya. Tetapi Allah lah yang melilitkan ikatan cinta suci itu. Inilah kisah kesabaran dan ketegaran Ali, kawan. Kisah ini terus menjadi inspirasi untuk setiap insan beriman yang ingin menjaga hatinya. Betapapun kamu kagum kepada seseorang, Allah pasti tahu itu. Maka izinkanlah hatimu itu untuk menjaganya kawan.

Tertulis pada tanggal 13 Juni 2009 di telogo rejo Balikpapan selama 4 jam.

Oleh pengagum Ali Bin Abi Thalib.

sumber: http://ryanalfiannoor.wordpress.com/2009/06/14/dua-kagum-yang-tak-tersampaikan/

Dua Kasih Yang Tak Tersampaikan

Abdul Mutthalib masih duduk menguatkan niatnya di depan rumah. Rupanya kakinya masih berat melangkah ke tengah kabah didekat berhala Isyaf dan Nayilah untuk melakukan nadzarnya. Sedikit banyak ia mencoba merenungi kembali janji yang pernah ia lontarkan kehadapan banyak orang berpuluh-puluh tahun yang lalu. Rupanya ia telah bernadzar akan mengorbankan satu dari sepuluh anak laki-lakinya sebagai wujud rasa syukur karena ia telah diberkahi banyak anak laki-laki. Sebenarnya penduduk Mekah sudah melupakan nadzar itu, namun sebagai orang yang selalu menepati janji, Abdul Mutthalib tidak mau mengingkari janji besar berupa nadzar yang dengan penuh kesadaran pernah diucapkannya. Saat itu juga, ia kuatkan hatinya, ia tekadkan langkahnya memanggil semua anak laki-lakinya, termasuk anak bungsu yang sangat ia sayangi, Abdullah.

Jauh didalam bilik kamarnya, Abdullah bersiap menunggu panggilan ayahnya. Namun entah mengapa saat itu ia kembali teringat masa kecilnya dulu. Terbayanglah kisah permainan kejar-kejaran dengan teman main masa kecilnya, Siti Aminah, sang melati dari bani Zuhrah. Persahabatan mereka terputus pada saat siti Aminah menjadi seorang gadis remaja cantik, dan harus dipingit oleh kedua orang tuanya. Rupanya bayangan teman sepermainan kecilnya dulu telah menyelipkan sesuatu yang lain didalam hatinya. Entah disebut apa hal yang lain itu, namun ia sadar, kini ada hal yang lebih penting lagi yang akan ia alami hari ini. Bahwasanya hidup matinya akan bergantung undian ayahnya hari ini. Lamunannya seketika buyar ketika mendengar langkah-langkah orang banyak menuju bilik kamarnya. Jauh disudut kamarnya tampaklah wajah ayahnya yang syahdu, menyorotkan kasih sayang yang sangat mendalam seperti wajah syahdu Ibrahim ketika hendak memenggal anaknya. Tampak pula disana kesembilan saudaranya yang menyorotkan mata kegagahperkasaan bani Hisyam kepada diri Abdullah.

Pasir-pasir gurun nampak beterbangan disekitar rumah Abdul Mutthalib. Dalam terik panas yang sangat, Mereka semua berjalan tegar menuju depan Ka’bah. Kini Al Harits, Zubair, Abu Thalib, Abu Lahab, Ghaidaq, Dhirar, Abbas, Abdul Ka’bah, Qatsam dan Abdullah telah siap untuk diundi. Dan yang terpenting lagi, sang ayah sudah kuat hatinya melepas kepergian salah satu anaknya.

Berbondong-bondong penduduk Mekah datang ke Ka’bah ingin menyaksikan prosesi pengorbanan anak Abdul Mutthalib. Sebenarnya sebagian besar dari mereka sebenarnya tidak menyetujui pelaksanaan nadzar tersebut, tapi keseganan pada pemuka Mekah ini membuat mereka tidak berani mengajukan alternatif solusi pemenuhan janji besarnya tersebut. Para wanita Mekah pun dengan gelisah menanti di rumah menunggu berita dari suami atau anak lelakinya kesudahan drama pengorbanan keluarga terpandang yang mereka hormati dan cintai.

Beberapa petak rumah yang tidak terlalu jauh dari ka’bah ada seorang wanita yang merenung didalam kamarnya. Ia tidak tahu mengapa ia sangat mengkhawatirkan teman kecil sepermainannya. Hatinya terus berdebar-debar membayangkan kejadian yang sangat mengerikan dimana Abdullah, pemuda yang diam-diam memasuki relung celah langit hatinya terkapar di atas tanah tempat mereka dahulu bermain kejar-kejaran dengan darah membasahi sekujur tubuhnya. Ingin rasanya melupakan dan menghilangkan bayang-bayang kejadian yang menakutkan itu, sejenak hilang tapi kemudian muncul lagi, berulang kembali mengganggu hati dan pikirannya. Sambil menunggu berita dia berjalan mondar-mandir, sebentar duduk, dicoba berbaring sambil memejamkan mata tapi semakin jelas khayalan terbayang dipelupuk matanya. Perlahan terucap dari bibirnya: “Ya Allah, selamatkan dia . . . . . . . selamatkan dia, dia hambaMu, dia milikMu, bukan milik Abdul Mutthalib!”

Sementara di dekat Ka’bah Abdul Mutthalib membawa kesepuluh anaknya melewati kerumunan orang banyak ke dekat berhala Isaf dan Nayilah. Semua yang menyaksikan terdiam, puluhan pasang mata menatap cemas pada sepuluh remaja yang mengikuti langkah ayahnya, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Penjaga Ka’bah yang telah siap melaksanakan undian menantikan perintah dari Abdul Mutthalib yang sedang menundukkan kepala bertafakur tidak bergerak, wajahnya nampak tertekan mencoba mengatasi konflik batin yang sangat hebat, yang belum pernah dialami sepanjang hayatnya, bahkan di seluruh kawasan Mekah tidak seorangpun yang berani melontarkan nadzar senekad itu sebelumnya. Angin gurun mulai meniup membawa udara panas, menerbangkan pasir dan butir-butir kerikil melewati mereka yang berada di dekat Ka’bah. Keringat Abdul Mutthalib nampak membasahi baju di bagian punggung dan keningnya, ketegangan semakin kuat bersama degup jantung yang semakin cepat dan tidak teratur, tapi pilihan harus segera diambil antara kehormatan memenuhi janji nadzar dengan bayangan anaknya menghadapi sakaratul maut dengan berlumuran darah dipangkuannya.

Ditengah-tengah suasana yang semakin mencekam tiba-tiba Abdul Mutthalib berteriak: “Laksanakan undian!” Juru kunci Ka’bah segera melaksanakan perintahnya, dengan gemetar dia mengocok undian yang menentukan nasib mati hidup seseorang, siapakah yang nyawanya bakal melayang di tangan ayahnya sendiri.

Bagaimanapun juga juru kunci harus melaksanakan tugasnya, dalam hatinya dia berbisik: “Seandainya saya dahulu tidak menerima amanat sebagai juru kunci Ka’bah!”

Dengan suara yang dipaksakan keluar dari tenggorokkan dia menyebutkan nama: “Ab . . . . dullah!” Bergetar hati semua orang yang hadir, ada yang tidak percaya apa yang baru didengarnya, tergetar perasaannya lemah lunglai sekujur tubuhnya. Mendengar nama anak bungsu kesayangannya disebut, Abdul Mutthalib merasakan seolah-olah tanah yang dipijaknya bergerak-gerak terkena gempa, terlihat olehnya bangunan Ka’bah, wajah anak-anaknya dan orang-orang didekatnya nampak berputar-putar tanpa arah. Dia mencoba berusaha keras mengatasi goncangan batinnya, ingin menunjukkan bahwa dirinya tetap Abdul Mutthalib yang perkasa, dihormati sebagai pemimpin yang tangguh, konsekuen dalam menepati janjinya.

Kini muncul dipermukaan sifat egosentrisnya, apakah ada hal yang lebih memalukan dari pada kehilangan martabat, kedudukan dan kemuliaan, bukankah kasih sayang pada anak bagian hati wanita. Serta merta ia menghampiri Abdullah, diseretnya anak tersebut ke dekat telapak kaki berhala Isaf dan Nayilah, sementara tangan kanannya yang kokoh memegang pedang tajam yang mengkilat. Abdul Mutthalib benar-benar hendak melaksanakan nadzar buruk yang disertai kekejian tersebut, tapi Allah Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Tiba-tiba sekelompok orang yang tadinya terpaku diam maju ke depan mendekati Abdul Mutthalib, dengan nada memprotes mereka berkata: “Hai Abdul Mutthalib, apakah sesungguhnya yang hendak kau lakukan!” Dia menjawab lantang: “Aku hendak memenuhi nadzarku!” Kelompok orang-orang nampak semakin bangkit keberaniannya, mereka menyahut dengan suara keras: “Tidak, kau tidak boleh menyembelih anakmu sendiri hanya karena nadzar. Kalau hal itu kau lakukan, perbuatan seperti itu akan ditiru oleh orang-orang Makkah, bagaimana kalau hal itu berlangsung terus”.

Seorang diantara mereka yang bernama Al Mughirah melangkah ke depan langsung memegang tangan Abdul Mutthalib yang mencengkeram pedang sambil berteriak: “Demi Allah, jangan teruskan niatmu ini. Kalau nadzar ini harus ditebus dengan harta dan perhiasan, kami bersedia mengumpulkan tebusan itu”. Beberapa pemuka Quraisy lainnya menyampaikan penyelesaian: “Berangkatlah bersama anakmu itu ke Khaibar, disana ada orang bijak yang masyhur, bertanyalah padanya, apakah nadzarmu itu harus dipenuhi atau dapat diganti dengan tebusan”.

Saran tersebut ternyata mempengaruhi logika dan hati nuraninya yang akhirnya menyadarkan dirinya atas kebodohan nadzar yang pernah diucapkannya tiga puluh tahun yang lalu. Pada dasarnya Abdul Mutthalib adalah tipe pemimpin yang suka bermusyawarah, bukan orang yang berkepribadian otoriter mempertahankan pendirian dan keputusan tanpa bersedia mendengarkan pendapat masyarakat yang dipimpinnya. Maka berangkatlah dia ke Khaibar untuk menemui orang bijak tersebut. Ternyata orang tersebut memutuskan agar nyawa Abdullah diganti dengan seratus ekor unta sebagai tebusan nadzarnya. Keputusan ini sangat melegakan hatinya, inilah harapan sesungguhnya dari nurani seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, seorang pemimpin yang tidak mau kehilangan martabat dan wibawanya dimata penduduk Mekah yang menghormati dan mencintainya.

Kabar tersebar dengan cepat ke seantero mekah. Barrah binti Abdul Uzza menjelaskan kepada anaknya, Aminah, tentang kejadian yang dialami Abdullah sejak ayahnya membawa kesepuluh anaknya ke Ka’bah hingga saat-saat menegangkan sewaktu hasil undian diumumkan sampai kata putus akhir dari orang bijak yang tinggal di Khaibar. Ibunya terus memperhatikan perubahan raut wajah anak gadisnya yang kelihatan sangat berminat mendengar ceritera tentang keselamatan Abdullah, tapi kepekaan hati Aminah menangkap apa yang diraba ibunya sehingga dengan bijaksana dia berusaha menyembunyikan perasaannya.

Beberapa lama kemudian, akhirnya Allah telah mengikatkan dua kasih yang tak tersampaikan di kota suci Mekah. Wahab, ayah Aminah memberitahukan kepadanya bahwa telah datang lamaran dari Abdullah Bin Abdul Mutthalib. Mereka berdua terdiam, tapi sebenarnya tampak perubahan rona wajah Aminah meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan reaksi berlebihan.

Beberapa lama setelah dua kasih tak tersampaikan telah terikat…..

Suatu pagi ketika baru bangun dari tidur Aminah menceriterakan mimpi yang dialaminya kepada suaminya. Ia menceriterakan melihat sinar yang terang benderang memancar dari dirinya sehingga nampak istana Bushara di negeri Syam. Tiada berapa lama terdengarlah suara suaminya menggema kepadanya: “tampaknya engkau telah hamil dan anak kita akan menjadi seseorang yang mulia untuk umat manusia”.

Abdullah sangat senang ketika mendengar istrinya hamil. Bahkan dalam sela-sela persiapan kafilah dagangnya pun, ia terus membayangkan bagaimana ketika kelak anaknya nanti menjadi lelaki yang gagah perkasa dan menjadi rahmat bagi manusia yang ada di bumi ini. Jauh didalam celah hatinya ia berdoa “Ya Allah jadikanlah anakku kelak menjadi manusia yang agung…..walau aku nanti tak sempat melihat dirinya….”

Asah Kapak --> Kita Asah Otak

Alkisah, seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.

Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.

Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu”.

Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku, bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?“, “Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga”. Kata si penebang.

“Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal.

Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan. Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.