Rabu, 07 Juli 2010

Dua Kasih Yang Tak Tersampaikan

Abdul Mutthalib masih duduk menguatkan niatnya di depan rumah. Rupanya kakinya masih berat melangkah ke tengah kabah didekat berhala Isyaf dan Nayilah untuk melakukan nadzarnya. Sedikit banyak ia mencoba merenungi kembali janji yang pernah ia lontarkan kehadapan banyak orang berpuluh-puluh tahun yang lalu. Rupanya ia telah bernadzar akan mengorbankan satu dari sepuluh anak laki-lakinya sebagai wujud rasa syukur karena ia telah diberkahi banyak anak laki-laki. Sebenarnya penduduk Mekah sudah melupakan nadzar itu, namun sebagai orang yang selalu menepati janji, Abdul Mutthalib tidak mau mengingkari janji besar berupa nadzar yang dengan penuh kesadaran pernah diucapkannya. Saat itu juga, ia kuatkan hatinya, ia tekadkan langkahnya memanggil semua anak laki-lakinya, termasuk anak bungsu yang sangat ia sayangi, Abdullah.

Jauh didalam bilik kamarnya, Abdullah bersiap menunggu panggilan ayahnya. Namun entah mengapa saat itu ia kembali teringat masa kecilnya dulu. Terbayanglah kisah permainan kejar-kejaran dengan teman main masa kecilnya, Siti Aminah, sang melati dari bani Zuhrah. Persahabatan mereka terputus pada saat siti Aminah menjadi seorang gadis remaja cantik, dan harus dipingit oleh kedua orang tuanya. Rupanya bayangan teman sepermainan kecilnya dulu telah menyelipkan sesuatu yang lain didalam hatinya. Entah disebut apa hal yang lain itu, namun ia sadar, kini ada hal yang lebih penting lagi yang akan ia alami hari ini. Bahwasanya hidup matinya akan bergantung undian ayahnya hari ini. Lamunannya seketika buyar ketika mendengar langkah-langkah orang banyak menuju bilik kamarnya. Jauh disudut kamarnya tampaklah wajah ayahnya yang syahdu, menyorotkan kasih sayang yang sangat mendalam seperti wajah syahdu Ibrahim ketika hendak memenggal anaknya. Tampak pula disana kesembilan saudaranya yang menyorotkan mata kegagahperkasaan bani Hisyam kepada diri Abdullah.

Pasir-pasir gurun nampak beterbangan disekitar rumah Abdul Mutthalib. Dalam terik panas yang sangat, Mereka semua berjalan tegar menuju depan Ka’bah. Kini Al Harits, Zubair, Abu Thalib, Abu Lahab, Ghaidaq, Dhirar, Abbas, Abdul Ka’bah, Qatsam dan Abdullah telah siap untuk diundi. Dan yang terpenting lagi, sang ayah sudah kuat hatinya melepas kepergian salah satu anaknya.

Berbondong-bondong penduduk Mekah datang ke Ka’bah ingin menyaksikan prosesi pengorbanan anak Abdul Mutthalib. Sebenarnya sebagian besar dari mereka sebenarnya tidak menyetujui pelaksanaan nadzar tersebut, tapi keseganan pada pemuka Mekah ini membuat mereka tidak berani mengajukan alternatif solusi pemenuhan janji besarnya tersebut. Para wanita Mekah pun dengan gelisah menanti di rumah menunggu berita dari suami atau anak lelakinya kesudahan drama pengorbanan keluarga terpandang yang mereka hormati dan cintai.

Beberapa petak rumah yang tidak terlalu jauh dari ka’bah ada seorang wanita yang merenung didalam kamarnya. Ia tidak tahu mengapa ia sangat mengkhawatirkan teman kecil sepermainannya. Hatinya terus berdebar-debar membayangkan kejadian yang sangat mengerikan dimana Abdullah, pemuda yang diam-diam memasuki relung celah langit hatinya terkapar di atas tanah tempat mereka dahulu bermain kejar-kejaran dengan darah membasahi sekujur tubuhnya. Ingin rasanya melupakan dan menghilangkan bayang-bayang kejadian yang menakutkan itu, sejenak hilang tapi kemudian muncul lagi, berulang kembali mengganggu hati dan pikirannya. Sambil menunggu berita dia berjalan mondar-mandir, sebentar duduk, dicoba berbaring sambil memejamkan mata tapi semakin jelas khayalan terbayang dipelupuk matanya. Perlahan terucap dari bibirnya: “Ya Allah, selamatkan dia . . . . . . . selamatkan dia, dia hambaMu, dia milikMu, bukan milik Abdul Mutthalib!”

Sementara di dekat Ka’bah Abdul Mutthalib membawa kesepuluh anaknya melewati kerumunan orang banyak ke dekat berhala Isaf dan Nayilah. Semua yang menyaksikan terdiam, puluhan pasang mata menatap cemas pada sepuluh remaja yang mengikuti langkah ayahnya, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Penjaga Ka’bah yang telah siap melaksanakan undian menantikan perintah dari Abdul Mutthalib yang sedang menundukkan kepala bertafakur tidak bergerak, wajahnya nampak tertekan mencoba mengatasi konflik batin yang sangat hebat, yang belum pernah dialami sepanjang hayatnya, bahkan di seluruh kawasan Mekah tidak seorangpun yang berani melontarkan nadzar senekad itu sebelumnya. Angin gurun mulai meniup membawa udara panas, menerbangkan pasir dan butir-butir kerikil melewati mereka yang berada di dekat Ka’bah. Keringat Abdul Mutthalib nampak membasahi baju di bagian punggung dan keningnya, ketegangan semakin kuat bersama degup jantung yang semakin cepat dan tidak teratur, tapi pilihan harus segera diambil antara kehormatan memenuhi janji nadzar dengan bayangan anaknya menghadapi sakaratul maut dengan berlumuran darah dipangkuannya.

Ditengah-tengah suasana yang semakin mencekam tiba-tiba Abdul Mutthalib berteriak: “Laksanakan undian!” Juru kunci Ka’bah segera melaksanakan perintahnya, dengan gemetar dia mengocok undian yang menentukan nasib mati hidup seseorang, siapakah yang nyawanya bakal melayang di tangan ayahnya sendiri.

Bagaimanapun juga juru kunci harus melaksanakan tugasnya, dalam hatinya dia berbisik: “Seandainya saya dahulu tidak menerima amanat sebagai juru kunci Ka’bah!”

Dengan suara yang dipaksakan keluar dari tenggorokkan dia menyebutkan nama: “Ab . . . . dullah!” Bergetar hati semua orang yang hadir, ada yang tidak percaya apa yang baru didengarnya, tergetar perasaannya lemah lunglai sekujur tubuhnya. Mendengar nama anak bungsu kesayangannya disebut, Abdul Mutthalib merasakan seolah-olah tanah yang dipijaknya bergerak-gerak terkena gempa, terlihat olehnya bangunan Ka’bah, wajah anak-anaknya dan orang-orang didekatnya nampak berputar-putar tanpa arah. Dia mencoba berusaha keras mengatasi goncangan batinnya, ingin menunjukkan bahwa dirinya tetap Abdul Mutthalib yang perkasa, dihormati sebagai pemimpin yang tangguh, konsekuen dalam menepati janjinya.

Kini muncul dipermukaan sifat egosentrisnya, apakah ada hal yang lebih memalukan dari pada kehilangan martabat, kedudukan dan kemuliaan, bukankah kasih sayang pada anak bagian hati wanita. Serta merta ia menghampiri Abdullah, diseretnya anak tersebut ke dekat telapak kaki berhala Isaf dan Nayilah, sementara tangan kanannya yang kokoh memegang pedang tajam yang mengkilat. Abdul Mutthalib benar-benar hendak melaksanakan nadzar buruk yang disertai kekejian tersebut, tapi Allah Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Tiba-tiba sekelompok orang yang tadinya terpaku diam maju ke depan mendekati Abdul Mutthalib, dengan nada memprotes mereka berkata: “Hai Abdul Mutthalib, apakah sesungguhnya yang hendak kau lakukan!” Dia menjawab lantang: “Aku hendak memenuhi nadzarku!” Kelompok orang-orang nampak semakin bangkit keberaniannya, mereka menyahut dengan suara keras: “Tidak, kau tidak boleh menyembelih anakmu sendiri hanya karena nadzar. Kalau hal itu kau lakukan, perbuatan seperti itu akan ditiru oleh orang-orang Makkah, bagaimana kalau hal itu berlangsung terus”.

Seorang diantara mereka yang bernama Al Mughirah melangkah ke depan langsung memegang tangan Abdul Mutthalib yang mencengkeram pedang sambil berteriak: “Demi Allah, jangan teruskan niatmu ini. Kalau nadzar ini harus ditebus dengan harta dan perhiasan, kami bersedia mengumpulkan tebusan itu”. Beberapa pemuka Quraisy lainnya menyampaikan penyelesaian: “Berangkatlah bersama anakmu itu ke Khaibar, disana ada orang bijak yang masyhur, bertanyalah padanya, apakah nadzarmu itu harus dipenuhi atau dapat diganti dengan tebusan”.

Saran tersebut ternyata mempengaruhi logika dan hati nuraninya yang akhirnya menyadarkan dirinya atas kebodohan nadzar yang pernah diucapkannya tiga puluh tahun yang lalu. Pada dasarnya Abdul Mutthalib adalah tipe pemimpin yang suka bermusyawarah, bukan orang yang berkepribadian otoriter mempertahankan pendirian dan keputusan tanpa bersedia mendengarkan pendapat masyarakat yang dipimpinnya. Maka berangkatlah dia ke Khaibar untuk menemui orang bijak tersebut. Ternyata orang tersebut memutuskan agar nyawa Abdullah diganti dengan seratus ekor unta sebagai tebusan nadzarnya. Keputusan ini sangat melegakan hatinya, inilah harapan sesungguhnya dari nurani seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, seorang pemimpin yang tidak mau kehilangan martabat dan wibawanya dimata penduduk Mekah yang menghormati dan mencintainya.

Kabar tersebar dengan cepat ke seantero mekah. Barrah binti Abdul Uzza menjelaskan kepada anaknya, Aminah, tentang kejadian yang dialami Abdullah sejak ayahnya membawa kesepuluh anaknya ke Ka’bah hingga saat-saat menegangkan sewaktu hasil undian diumumkan sampai kata putus akhir dari orang bijak yang tinggal di Khaibar. Ibunya terus memperhatikan perubahan raut wajah anak gadisnya yang kelihatan sangat berminat mendengar ceritera tentang keselamatan Abdullah, tapi kepekaan hati Aminah menangkap apa yang diraba ibunya sehingga dengan bijaksana dia berusaha menyembunyikan perasaannya.

Beberapa lama kemudian, akhirnya Allah telah mengikatkan dua kasih yang tak tersampaikan di kota suci Mekah. Wahab, ayah Aminah memberitahukan kepadanya bahwa telah datang lamaran dari Abdullah Bin Abdul Mutthalib. Mereka berdua terdiam, tapi sebenarnya tampak perubahan rona wajah Aminah meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan reaksi berlebihan.

Beberapa lama setelah dua kasih tak tersampaikan telah terikat…..

Suatu pagi ketika baru bangun dari tidur Aminah menceriterakan mimpi yang dialaminya kepada suaminya. Ia menceriterakan melihat sinar yang terang benderang memancar dari dirinya sehingga nampak istana Bushara di negeri Syam. Tiada berapa lama terdengarlah suara suaminya menggema kepadanya: “tampaknya engkau telah hamil dan anak kita akan menjadi seseorang yang mulia untuk umat manusia”.

Abdullah sangat senang ketika mendengar istrinya hamil. Bahkan dalam sela-sela persiapan kafilah dagangnya pun, ia terus membayangkan bagaimana ketika kelak anaknya nanti menjadi lelaki yang gagah perkasa dan menjadi rahmat bagi manusia yang ada di bumi ini. Jauh didalam celah hatinya ia berdoa “Ya Allah jadikanlah anakku kelak menjadi manusia yang agung…..walau aku nanti tak sempat melihat dirinya….”