Rabu, 24 Maret 2010

Kekuatan Tekad Menaklukkan Retinoblastoma dan PNET

Dua jenis kanker tak menghalangi langkah saya mencapai gelar dokter yang saya cita-citakan sejak kecil.

Pernahkan kita bersyukur untuk kehidupan kita? Ataukah kita malah merasa kehidupan ini terlalu berat untuk dilalui dan terlalu sulit untuk dinikmati keindahannya? Seringkali kita mengukur nilai sebuah kebahagiaan berdasarkan apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Namun sesungguhnya, terkadang kita tidak melihat “kebaikan Tuhan” yang tersembunyi melalui masa-masa sulit dalam hidup kita. Hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti. Setiap cerita dalam bab yang kita lalui membuat hidup kita menjadi bermakna dan berwarna.Teruslah melangkah sambil bermimpi dan berharap meskipun saat ini kita sedang melalui saat saat terberat dalam kehidupan kita.

Setiap peristiwa mengandung hikmah dan pelajaran di baliknya. Kita mendapatkan kekuatan, semangat, dan keyakinan saat kita memberanikan diri untuk melihat lebih dalam setiap pengalaman yang kita alami. Yakinlah bahwa roda kehidupan akan terus berputar karena hidup ini tidak sekedar sepenggal cerita tetapi rangkaian petualangan untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Tetaplah melangkah sampai kepada halaman yang terakhir, karena disana tersedia akhir yang terbaik untuk semua.

Awal kehidupan saya dimulai ketika saya dilahirkan di dunia, 19 Januari 1983 sebagai putri pertama dari pasangan Dr. Loekito Siswojo dan Vera Wibowo. Tepat di hari ulang tahun saya yang pertama, saya didiagnosa menderita kanker retina (retinoblastoma) pada mata kiri saya. Merupakan pilihan yang tidak mudah bagi orang tua saya ketika harus merelakan satu bagian tubuh (mata) putri kecilnya diambil. Tapi buat mereka nyawa saya di atas semuanya, sehingga apapun akan dilakukan untuk memperjuangkan hidup saya. Itulah perkenalan saya yang pertama dengan penyakit kanker. Beruntung kanker belum menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga nyawa saya masih bisa diselamatkan.

MELAWAN KETAKUTAN DAN KEPUTUS-ASAAN
Saya tumbuh menjadi remaja yang aktif dan ceria, meskipun dalam hati kecil saya masih bertanya-tanya mengapa saya harus ”berbeda” dengan yang lain. Mengapa saya harus terkena kanker mata saat saya masih bayi? Rupanya Tuhan akhirnya menjawab kegelisahan di hati saya, tentu saja dengan cara-Nya yang misterius. Bulan Juli 1999, ketika berusia 16 tahun, saya kembali didiagnosa menderita kanker yaitu Primitive Neuroectodermal Tumor (PNET) sejenis Ewing Sarcoma stadium 3. Berawal dari kaki yang bengkak sampai keluhan nyeri yang luar biasa hebatnya, sehingga membuat saya sulit untuk berjalan. Bagaikan disambar petir di siang bolong, begitu kira-kira perasaan saya waktu itu. Hari-hari saya dipenuhi air mata kesedihan dan keputus-asaan. Saya hanyalah seorang remaja yang baru saja ingin menikmati masa muda, tetapi sekarang harus berjuang melawan maut.

Tetapi ketika saya kembali merenungkan tentang kehidupan masa lalu saya, betapa banyak hal yang belum saya perbuat untuk semua orang, termasuk untuk kedua orang tua saya. Betapa menyakitkan melihat air mata mereka, dan betapa besar perjuangan mereka untuk hidup putri kecilnya. ”Ya Tuhan ... saya harus kuat!” Saya hanya bisa berdoa supaya diberi kekuatan melalui semuanya.

Saya memilih untuk tidak langsung berjuang untuk melawan kanker. Namun sebelum memasuki medan peperangan terhadap kanker saya harus melawan ketakutan dan keputus-asaan dari dalam diri saya, karena sesungguhnya itulah musuh terbesar saya. Ketika kita mulai mengasihani diri dan mulai membuat seribu alasan untuk menyerah, itulah awal kehancuran hidup kita.

Perjuangan saya melawan kanker bukan merupakan hal yang mudah. Saya harus melalui proses pengobatan panjang yang tentu saja melelahkan dan menyakitkan secara fisik maupun mental. Proses pengobatan berupa kemotherapi 6 seri, radioterapi 70 x, dan operasi berulang kali harus saya jalani. Efek kemoterapi dan radioterapi membuat tubuh dan perasaan saya menjadi tidak menentu, yang pasti saya hanya bisa berbaring lemah di ranjang dan tak berdaya dibuatnya.

Kasih sayang, perhatian, dan pengorbanan keluarga serta para sahabat merupakan obat yang mujarab dalam melawan keputus-asaan saya.

Selain menjalani pengobatan medis, saya juga menjalani terapi herbal berupa jus sayur, buah, dan tanaman herbal seperti daun dewa, kunir putih, daun sambung nyawa, benalu teh, bit merah dll. Bayangkan dalam 1 hari saya mengkonsumsi 1 kg apel, 1 kg tomat, dan 1 kg wortel, belum termasuk obat-obatan yang lain secara terus-menerus. Sering saya hampir muak dibuatnya, namun keinginan saya untuk sembuh membuat saya sanggup ”menelan” semua meski dengan penuh perjuangan.

Untuk melawan kanker dibutuhkan kemauan dan tekad, namun itu saja tidak cukup, tetapi butuh yang namanya doa, disertai perjuangan dan pengorbanan dari kita dan keluarga yang mendampingi kita.
Saya bukan manusia super. Adakalanya saya merasa terlalu lemah, lelah, dan ingin menyerah. Namun ”cinta” menguatkan saya tetap berjuang untuk hidup. Kasih sayang dan perhatian dari orang tua dan sahabat-sahabat saya merupakan obat yang mujarab untuk melawan keputus-asaan yang saya rasakan. Selain itu secara spiritual saya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Saya punya keyakinan bahwa Tuhan akan menyembuhkan saya, entah bagaimana caranya.

PENTINGNYA PUNYA CITA-CITA
Saya yakin setiap orang pasti mempunyai harapan dan cita-cita dalam hidupnya. Demikian juga saya. Dari kecil saya bercita-cita menjadi seorang dokter. Bahkan ketika saya berjuang melawan kanker saya tetap bermimpi dan berharap menjadi seorang dokter, meskipun saat itu saya sendiri sedang menjalani peran menjadi seorang pasien. Saya yakin pengalaman saya sebagai seorang pasien kelak akan membuat saya lebih mengerti perasaan pasien-pasien saya. Namun saya harus menghadapi berbagai tantangan untuk mewujudkannya. Termasuk ketika harus menjalani pengobatan, saya tidak masuk sekolah satu catur wulan.

Saya disarankan untuk mengulang di tahun berikutnya. Namun saya menolak dengan alasan saya tidak dapat bersekolah bukan karena saya tidak mau tapi saya tidak mampu berjalan saat itu. Sedangkan kelas saya berada di lantai 3, belum lagi kondisi saya yang lemah karena kemoterapi rentan terhadap infeksi. Namun saya bersikeras diberi kesempatan untuk tetap bersekolah, karena itu salah satu yang memotivasi saya untuk tetap semangat. Tentu sulit dibayangkan berapa banyak pelajaran yang saya tidak pernah saya dapatkan tapi harus saya pelajari. Namun prinsip saya lebih baik saya mencoba dan gagal daripada saya menyerah sebelum mencoba.

Saya masih ingat ketika terbaring di ranjang yang dipenuhi buku-buku berserakan karena saya tidak tahu harus mulai mempelajarinya dari mana. Perlahan tapi pasti saya bisa mengejar ketinggalan. Di catur wulan berikutnya saya dengan aksesoris baru berupa wig dan pensil alis harus meniti tangga 3 lantai dengan bantuan krug satu-persatu supaya dapat mengikuti pelajaran di kelas. Di sela-sela pelajaran saya harus ke rumah sakit menjalani radioterapi kemudian kembali ke kelas.

Setiap kali mulai putus asa saya hanya memejamkan mata dan membayangkan masa depan saya, yach menjadi seorang dokter.Tapi mungkinkah seseorang dengan satu penglihatan bisa menjadi seorang dokter? Entahlah, tapi andaikata itu bisa, justru di situlah keistimewaannya. Saya memang terlahir dengan beberapa keterbatasan fisik, tapi Tuhan tidak lupa menambahkan berbagai bakat dalam diri saya. Tidak seorang pun di dunia dilahirkan dalam kesempurnaan sepenuhnya.

Dari pengalaman melawan kanker, saya tahu pasien tidak hanya membutuhkan obat, tetapi juga membutuhkan dukungan moral.

Mama saya pernah berkata ”Jika seseorang sukses karena kekayaan, kesempurnaan fisik, dan kepandaiannya, itu sudah biasa. Tapi jika seseorang dengan latar belakang sederhana, penuh dengan keterbatasan fisik, dan terlahir dengan kepandaian rata-rata bisa meraih kesuksesan, itulah yang disebut orang yang luar biasa. Jadikan keterbatasan sebagai tantangan, jangan sebagai batu sandungan." Jadi tidak ada salahnya untuk tetap bermimpi dan berharap meskipun anda berada dalam titik terendah dalam hidup anda. Dan ternyata perjuangan saya tidak sia-sia. Saya berhasil masuk ke kelas IPA dan diterima di Fakultas Kedokteran Tarumanagara di tahun berikutnya.

Saat-saat yang berat telah terlalui, hujan dan badai telah berlalu, dan pelangi yang indah telah tampak muncul di cerahnya langit. Kalau dulu saya hanya bisa bermimpi, sepertinya kali ini semua tampak nyata dan terjadi. Kebahagiaan datang silih berganti seakan menghapus kenangan sedih di masa lalu. Kenyataannya saat ini saya telah menjadi seorang dokter. Saya berkesempatan menjadi dokter magang di Yayasan Kanker Indonesia. Bergabung di komunitas survival kanker anak di Cancer Buster Community. Bahkan saya saat ini sedang mengambil Pendidikan Dokter Spesialis Bagian Ilmu Kedokteran Nuklir di Universitas Kedokteran Padjajaran Bandung.

Tetapi masih ada lagi yang paling diidamkan seorang wanita dalam hidupnya. Tak lain dan tak bukan adalah bertemu dengan pria pujaan hatinya, menikah, dan mempunyai anak. Tapi bagaimana bisa? Saya hanya bisa berkata, ”Tuhan punya beribu-ribu cara untuk mewujudkannya, some way.. some how, and some where. Demikian juga ketika saya bertemu dengan pujaan hati yang sekarang menjadi suami saya. Dia bersedia menerima segala kelebihan dan kekurangan saya bahkan selalu mendukung perjalanan karir saya.

Inilah sepenggal kisah hidup saya,dan tentu saja bukan akhir dari semua tapi awal dari petualangan meraih kebahagiaan selanjutnya. Apapun yang sedang anda alami, teruslah melangkah dan perjuangkanlah. Anggaplah itu sebagai bukit penderitaan yang harus kita daki sebelum sampai di puncak kebahagiaan. Jadi raihlah kebahagiaanmu dan jangan pernah berhenti untuk berharap. Percayalah suatu saat apa yang Anda hadapi dan perjuangkan akan membawa suatu kebaikan baik terhadap diri Anda dan orang lainnya. Selamat berjuang.

(Dr Alvita Dewi Siswoyo/rumahkanker.com)