Rabu, 24 Maret 2010

Resiliensi pada Penderita Kanker Ditinjau dari Dukungan Sosial

Posted on April 24, 2009 by grahacendikia

Kanker merupakan penyakit yang mengerikan bagi kebanyakan orang. Cara, sikap ataupun reaksi orang dalam menghadapi kanker pada dirinya, berbeda satu sama lain dan individual sifatnya. Hal ini tergantung kepada sampai seberapa jauh kemampuan individu yang bersangkutan menyesuaikan diri terhadap situasi yang mengancam kehidupannya. Berbagai reaksi penderita kanker di bidang kejiwaan antara lain kecemasan, ketakutan dan depresi (Hawari, 2004).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Dalam 10 tahun mendatang diperkirakan sembilan juta orang akan meninggal setiap tahun akibat kanker. Dua pertiga dari penderita kanker di dunia akan berada di negara-negara yang sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker yang baru di setiap 100.000 penduduk. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI, kematian yang disebabkan kanker meningkat dari tahun ke tahun adalah : 4,5 %0 (1989), 4,5 %0 (1992), dan 4,9 %0 (1995) (news.indosiar.com).

Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker dalam perkembangannya, sel-sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian. Kanker dapat menimpa semua orang, pada semua bagian tubuh, dan pada semua golongan umur. Kanker dapat timbul pada pria, wanita, maupun anak-anak. Walaupun kanker dapat timbul pada anak-anak, tetapi labih sering timbul pada orang dewasa, terutama pada orang yang berusia 40 tahun keatas. Ini disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon dan proses menua atau kemunduran pertumbuhan sel. Umumnya sebelum kanker meluas atau merusak jaringan di sekitarnya, penderita tidak merasakan adanya keluhan ataupun gejala. Bila sudah ada keluhan atau gejala biasanya penyakitnya sudah lanjut (news.indosiar.com).

Ada tiga fase reaksi emosional penderita ketika diberitahu bahwa penyakit yang dideritanya adalah kanker yang sudah lanjut. Fase pertama, penderita akan merasakan shock mental, kemudian diliputi oleh rasa takut, dan depresi. Muncul reaksi penolakan dan kemurungan, terkadang penderita menjadi panik, melakukkan hal-hal yang tidak berarti dan sia-sia. Setelah fase ini berlalu, akhirnya penderita akan sadar dan menerima kenyataan bahwa jalan hidupnya telah berubah (Hawari, 2004).

Stress yang dialami oleh pasien kanker, cenderung membuat cara berpikir menjadi tidak akurat. Hal itu membawa individu menjadi tidak resilien dalam menghadapi masalah, dalam hal ini adalah penyakit kanker. Stress membahayakan sistem kekebalan, yang memungkinkan individu menjadi lebih sering sakit. Individu dengan resiliensi yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri, mampu mengelola stress dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stress. Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap fokus pada persoalan yang sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga individu bisa mengatasi resiko depresi dan banyak tantangan. Pikiran dan perasaan adalah inti dalam memahami individu dalam rangka meningkatkan resiliensi. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa terapi kognitif yang berbasis aspek-aspek dari resiliensi sangat efektif dalam mengatasi depresi (Reivich dan Shatte, 2002).

Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich dan Shatte, 2002).

Faktor yang mendukung resiliensi, diantaranya adalah dukungan sosial, berhubungan dengan tingkat stress yang rendah. Individu dengan resiliensi yang tinggi memiliki dukungan sosial yang lebih baik dan memiliki tingkat stress yang rendah (Aitken dan Morgan, 1999). Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus menerus mendefinisikan diri dan pengalaman, menjadi dasar untuk proses kehidupan yang menghubungkan antara sumber daya individu dan spiritual (Southwick, 2001).Penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Hasanat (1998), yang menyimpulkan bahwa dukungan sosial yang diperoleh penderita kanker akan menurunkan tingkat depresi penderita. Seseorang yang dihadapkan pada masalah atau kesulitan hidup dan ia mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya berupa tersedianya orang yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan ketika sedang dalam kondisi down, mendengarkan keluh kesah, memberikan informasi yang diperlukan, diajak berdiskusi dan bertukar pikiran maka orang tersebut akan merasa lebih nyaman, merasa diperhatikan, serta memiliki tempat untuk berbagi keluh kesah yang dialami sehingga beban psikologis yang terasa berat, jika harus ditanggung sendirian, bisa lebih ringan. Demikian halnya apabila dukungan sosial tidak diperoleh maka beban yan dialami oleh orang tersebut akan terasa lebih berat sehingga bisa memunculkan stres dan frustrasi ketika menghadapi masa-masa yang sulit. Dukungan sosial yang diterima dan dirasakan dapat berbeda antara individu yang satu dengan yang lain karena terdapat persepsi yang berbeda dalam merasakan penerimaan dukungan tersebut.